Beranda » Opini Publik: “Pelayanan Gizi di Rumah Sakit Swasta Terhadap Kepatuhan Standar dan Efisiensi Biaya”

Opini Publik: “Pelayanan Gizi di Rumah Sakit Swasta Terhadap Kepatuhan Standar dan Efisiensi Biaya”

by Editor Utama

Layanan kesehatan di Indonesia tengah mengalami transformasi besar, terutama dengan meningkatnya jumlah rumah sakit swasta yang berlomba-lomba menawarkan layanan premium dan fasilitas canggih. Namun, di balik kemewahan fisik tersebut, terdapat isu mendasar yang sering terabaikan yaitu  kualitas pelayanan gizi klinis. Padahal, asupan gizi yang baik merupakan fondasi utama dalam mempercepat proses penyembuhan pasien dan mencegah komplikasi lanjutan.

Dalam konteks rumah sakit, pelayanan gizi seharusnya tidak hanya dipahami sebagai penyediaan makanan, melainkan juga sebagai proses terapeutik yang membutuhkan penilaian, perencanaan, implementasi, dan evaluasi oleh tenaga profesional gizi. Sayangnya, banyak rumah sakit swasta yang masih melihat aspek ini sebagai sekadar kewajiban administratif untuk memenuhi standar akreditasi, bukan sebagai bagian esensial dari pelayanan kesehatan.

Realitas Pelayanan Gizi di Rumah Sakit Swasta

Menurut Permenkes No. 26 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Gizi Rumah Sakit, setiap pasien berhak mendapatkan pelayanan gizi yang meliputi asesmen gizi, diagnosis gizi, intervensi gizi, serta monitoring dan evaluasi gizi. Namun, dalam praktiknya, implementasi regulasi ini belum optimal, terutama di sektor swasta. Ketika tujuan rumah sakit swasta lebih difokuskan pada profitabilitas, pelayanan gizi kerap kali menjadi titik yang paling mudah dikompromikan.

Salah satu alasan utama pelayanan gizi di rumah sakit swasta tidak berkembang secara maksimal adalah dorongan efisiensi biaya. Banyak manajemen rumah sakit yang menganggap bahwa pengadaan bahan makanan berkualitas tinggi, penambahan tenaga ahli gizi, atau penyusunan menu individual untuk setiap pasien adalah pengeluaran tambahan yang tidak mendatangkan keuntungan langsung.

Padahal, malnutrisi di rumah sakit sangat umum terjadi dan berdampak langsung terhadap biaya perawatan. pasien rawat inap yang mengalami malnutrisi, yang berujung pada peningkatan lama rawat inap, risiko infeksi, dan angka kekambuhan penyakit. Ketika gizi pasien diabaikan, justru akan timbul biaya tambahan akibat perawatan lanjutan yang seharusnya bisa dicegah dengan intervensi gizi dini.

Baca Juga  Opini Publik: "Pengaruh Mantri Tani Desa Dalam Meningkatkan Pelayanan Publik Kepada Masyarakat Petani Di Desa Sukamekarsari Kecamatan Kalanganyar Kabupaten Lebak"

Pentingnya Intervensi Gizi Klinis Terstandar

Intervensi gizi klinis bukan hanya tentang pemberian makanan bergizi, tetapi mencakup seluruh proses identifikasi kebutuhan gizi berdasarkan status medis, hasil laboratorium, dan kondisi sosial pasien. Di negara-negara maju, seperti Australia dan Kanada, ahli gizi klinis menjadi bagian penting dalam tim multidisiplin bersama dokter, perawat, dan farmasis.

Di Indonesia, konsep ini mulai diperkenalkan melalui program akreditasi rumah sakit oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS), namun implementasinya masih belum merata. Rumah sakit swasta sering kali tidak memiliki cukup tenaga gizi untuk mengelola kebutuhan pasien secara menyeluruh, apalagi dalam jumlah pasien yang besar. Akibatnya, intervensi gizi bersifat reaktif (baru diberikan saat kondisi memburuk) daripada preventif.

Dampak Langsung pada Kesehatan Pasien

Ketika pelayanan gizi diabaikan, dampaknya langsung terasa pada kesehatan pasien. Pasien dengan luka operasi besar, penyakit infeksi berat, atau gangguan metabolik memerlukan terapi gizi khusus agar dapat pulih optimal. Tanpa dukungan gizi yang memadai, pemulihan menjadi lambat, dan risiko infeksi meningkat. Selain itu, pasien lansia yang rawan kekurangan gizi akan lebih mudah mengalami komplikasi, termasuk jatuh, kebingungan, dan dekubitus.Gizi juga berperan penting dalam pengelolaan penyakit kronis seperti diabetes, gagal ginjal, dan kanker disinilah peran edukasi gizi sangat vital. Pasien perlu memahami pola makan yang sesuai, dan rumah sakit memiliki tanggung jawab moral dan profesional untuk memberikan pembinaan gizi yang jelas dan berkelanjutan—bukan hanya saat pasien dirawat, tetapi juga ketika pulang ke rumah.

Tantangan Kelembagaan dan Regulasi

Dari sisi kebijakan, meskipun regulasi telah tersedia, pengawasan terhadap pelaksanaan pelayanan gizi di rumah sakit swasta masih lemah. Tidak adanya sanksi tegas atau insentif bagi rumah sakit yang menerapkan pelayanan gizi dengan baik membuat banyak institusi memilih untuk ‘sekadar memenuhi kewajiban’. Padahal, dengan sistem audit dan insentif berbasis mutu, rumah sakit akan lebih terdorong untuk meningkatkan standar pelayanan gizinya.

Baca Juga  GAMMA Sebut Hari Anti Korupsi Sedunia Momentum Untuk Memperkeras Kritik

Selain itu, masih ada kendala dalam ketersediaan SDM gizi yang kompeten. Lulusan gizi klinis di Indonesia belum tersebar merata, dan banyak rumah sakit masih merekrut tenaga gizi dengan latar belakang pendidikan umum tanpa pelatihan klinis lanjutan. Hal ini berdampak pada kualitas asesmen dan intervensi gizi yang dilakukan.

Beberapa langkah strategis dapat dilakukan untuk memperbaiki situasi ini. Pertama, rumah sakit swasta perlu mengubah sudut pandang terhadap pelayanan gizi. Gizi klinis bukan beban, tetapi investasi jangka panjang yang bisa menurunkan total biaya perawatan dan meningkatkan tingkat kepuasan pasien. Kedua, tenaga gizi harus dilibatkan secara aktif dalam tim klinis, dengan pelatihan berkelanjutan dan dukungan teknologi, seperti software asesmen gizi digital. Ketiga, pemerintah perlu meningkatkan pengawasan terhadap implementasi standar pelayanan gizi, termasuk dalam proses akreditasi rumah sakit. Sistem reward and punishment dapat diterapkan untuk memotivasi perbaikan kualitas. Terakhir, perlu edukasi berkelanjutan kepada masyarakat bahwa mereka berhak atas layanan gizi yang bermutu selama menjalani perawatan di rumah sakit.

Kesimpulan

Pelayanan gizi di rumah sakit swasta tidak boleh terus-menerus menjadi aspek yang dikorbankan demi efisiensi, dalam dunia medis modern, perawatan pasien bukan hanya soal pengobatan dan tindakan medis, tetapi juga soal pemenuhan kebutuhan dasar seperti gizi yang tepat. Sudah saatnya rumah sakit swasta di Indonesia memperlakukan gizi sebagai elemen utama dalam proses penyembuhan, bukan sekadar formalitas belaka. Dengan menempatkan pelayanan gizi pada posisi yang semestinya, kita tidak hanya meningkatkan kualitas hidup pasien, tetapi juga membangun sistem kesehatan yang lebih manusiawi dan berkelanjutan.

Penulis :

  1. Siti Soleha (Mahasiswa)
  2. Angga Rosidin (Dosen Pembimbing)
  3. Zakaria Habib Al-Ra’zie (Kaprodi)

Program Studi Administrasi Negara Universitas Pamulang Serang

Baca Juga  Opini Publik : ”Efektivitas Pengawasan Satpol PP terhadap Tempat Hiburan Malam dan Warung Remang di Jalan Lingkar Selatan (JLS), Wilayah Kecamatan Kramatwatu dan Waringin Kurung, Kabupaten Serang”

Referensi

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 26 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Gizi Rumah Sakit.Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS). (2022). Standar Akreditasi Rumah Sakit Edisi 1.1.

Berita Lainnya