Foto : Penulis Galuh Malpiana
SETIAP malam, mulai dari jalan sepanjang RT. Hardiwinangun hingga Ranca Lentah Balong, Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, ramai oleh pedagang kaki lima (PKL). Sebagian besar mereka, menjual aneka jajanan alias kuliner.
Ada juga yang berjualan pakaian, aksesoris handphone hingga arena mainan anak-anak. Lokasi jalur kawasan itu, memang cukup strategis, sehingga kawasan itu selalu jadi incara para PKL.
Jalan RT Hardiwinangun adalah salah satu jalur yang menghubungkan ke kawasan Ranca Lentah Balong. Jalur itu sendirian bisa dibilang jalur ‘sutra’. Karena setiap hari tak pernah sepi pengunjung apalagi saat malam hari.
Selain kawasan jalan RT Hardiwinangun dan Ranca Lentah Balong. Suasana ramai juga selalu terlihat di kawasan Alun-alun Rangkasbitung. Hampir setiap hari selalu ramai pengunjung, apalagi jika malam hari saat libur.
Jangan kaget ketika masuk kawasan Alun-alun Rangkasbitung, Anda seperti berada dikawasan pasar malam. Sebab, jenis barang yang dijual para PKL sangat beragam, mulai penjual sendal, sepatu, baju, kuliner hingga mainan anak-anak.
Saking banyaknya pengunjung, area parkir, baik untuk kendaraan mobil maupun motor selalu penuh. Dijalanan utama Anda juga akan disibukan dengan hilir mudik kuda delman.
Kawasan Alun-alun dihimpit, sejumlah gedung pemerintah Pemkab Lebak, mulai kantor Pendopo Pemkab Lebak, Gedung Setda, Gedung DPRD Lebak, Museum Multatuli, Gedung Saija Adinda dan masih banyak gedung pemerintahan lainnya.
Bagi Anda yang beragama muslim, Anda jangan merasa khawatir, karena saat terdengar adzan tanda datangnya waktu shalat. Lokasi Masjid yang terbilang cukup megah dekat. Anda juga bisa menyaksikan menara yang menjulang sekitar 20 meter.
Karena lokasinya berada di tengah pusat kota, kawasan Alun-alun sudah pasti akan jadi incaran pedagang karena dianggap lokasi strategis dan bisa dibilang lahan basah bagi PKL untuk mengais rejeki. Perputaran uang di kawasan Alun-alun diperkirakan cukup besar, jumlahnya bisa sekitar puluhan juta. Entah sejak kapan, PKL mulai diperbolehkan masuk ke dalam area Alun-alun untuk berjualan. Namun selintingan kabar, PKL hanya boleh berjualan hanya setiap Jumat malam dan Sabtu malam.
Kawasan bebas pedagang
Kebijakan PKL berjualan di area kawasan Alun-alun sebagai kawasan terbuka hijau, sebenarnya buka aturan yang mengikat. Itu hanya sebatas kebijakan populis yang bersipat sosial mengakomodir aspirasi para pelaku usaha skala mikro. Mengingat, sesuai ketentuan Alun-alun merupakan area terbuka hijau.
Karenanya, kawasan Alun-alun harus steril, tidak boleh ada aktivitas pedagang. Karena, hanya diperbokehkan untuk kegiatan terbuka publik, seperti berolahraga dan lainnya. Sanksi bagi pelanggar aturan berjualan di area kawasan Alun-alun tidak main-main. Jika ada pelaku pelanggar, maka Satpol PP akan melakukan penertiban.
Namun, belakangan kawasan Alun-alun sekarang ini tak ubahnya seperti pasar malam. Entah siapa sebenarnya yang memperbolehkan PKl berjualan di dalam kawasan Alun-alun, karena sesuai aturan Alun-alun harus steril dari aktivitas PKL.
Ibarat pribahasa, ada gula ada semu, kehadiran PKL di dalam kawasan Alun-alun tentu tidak serta merta datang begitu saja. Mereka berani berjualan di kawasan Alun-alun tentu atas izin pihak tertentu.
Hipotesisnya kehadiran PKL di Alun-alun itu sudah pasti karen ada pihak yang memberikan jaminan. Setidaknya hipotesis mendekati benar. Karen belum lama ini, s sebuah media online lokal pada Februari 2024 menerbitkan artikel berita berjudul, “Para Pedagang di Alun-alun Membayar Upeti pada Pihak Mengatasnamakan dari Satpol PP”.
Meski demikian, itu baru sebatas praduga, belum bisa terkonfirmasi kebenarannya. Namun yang jelas PKL tidak secara terang-terangan jualan di Alun-alun, tanpa ada oknum memberikan jaminan. Dalam posisi itu, para PKL sama saja sedang masuk dalam perangkap oknum meraup rupiah dari para PKL, yang sebenarnya kehadiran mereka di Alun-alun ilegal.
Seakan jadi budaya
Kasus jatah upeti untuk oknum semacam itu bukan kali pertama terjadi. Sebuah media online lainnya pada edisi tahun 2022 silam menerbitkan berita kasus pungli terhadap PKL oleh oknum di kawasan Ranca Lentah Balong. Oknum itu mengaku jika uang hasil pungli itu disetor kepada seorang oknum pejabat di Satpol PP Lebak. Lagi-lagi hal itu langsung dibantah pihak Satpol PP.
Praktik pungli semacam itu meminta uang dengan tanpa dasar yang jelas semacam itu jelas masuk katagori pungli. Tindakan itu jelas merupakan premanisme dan melanggar hukum. Praktik pungli akan terus terjadi, jika para PKL berjualan atau membuka lapak tidak pada tempatnya. Hanya saja, para PKL seolah sudah masuk dalam perangkap lintah penghisap.
Penulis menduga ada lingkaran mafia yang memanfaatkan para PKL membiarkan terjebak dalam area yang semestinya tidak boleh dipergunakan untuk lahan berjualan. Karena memanfaatkan area publik untuk kepentingan komersial demi keuntungan pribadi adalah tindakan melawan hukum.
Pemerintah seharusnya bersikap tegas, jangan seolah turut mendukung dan membiarkan pelanggaran aturan terjadi. Apa jangan-jangan, patut diduga itu adalah bagian dari ladang basah para oknum bisa mendapatkan keuntungan pribadi.
Pemerintah seharusnya menyediakan lahan atau fasilitas bagi para pelaku UMKM atau PKL. Jangan biarkan mereka bergeliriya semaunya dengan melabrak aturan. Padahal, tahun sebelumnya pemerintah daerah dalam kepemimpinan Bupati Lebak, Iti Octavia Jayabaya sudah menetapkan kawasan Balong Ranca Lentah sebagai kawasan wisata kuliner terpadu.
Pemerintah sudah memberikan dukungan dengan menyediakan sentra atau los bagi pelaku usaha kuliner ditempat terpadu. Hanya saja los yang tersedia saat ini kosong dan nyaris ditinggalkan para pedagang.
Tidak sampai disitu pemerintah daerah juga mencanangkan Plaza Lebak yang pembangunannya menghabiskan anggaran miliaran rupiah. Plaza tersebut menjual aneka produk khas kearifan lokal. Sayangnya Plaza Lebak mengalami depisit karena sepi pembeli.
Plaza Lebak kemudian beralih fungsi menjadi Plaza pelayanan satu atap. Lagi-lagi program itu hanya menjadi jargon sementara, karena saat ini sudah tak berfungsi. Kawasan Plaza Lebak kemudian disulap kembali menjadi sebuah kawasan kuliner, lagi-lagi gagal karena sepi pengunjung.
Pilkada tahun 2024, Bupati-wakil Bupati Lebak tinggal sebentar lagi. Sebagai warga Kabupaten Lebak saya berharap sosok Bupati yang nanti maju mencalonkan diri memiliki visi dan misi yang jelas. Programnya diharapkan memiliki perencanaan baik dan matang, sehingga nantinya program yang dilaksanakan tidak maksimal dan hanya menjadi sebuah monument.
Allahualam Bisawab. Semoga Lebak semakin maju dan berkembang dan memunculkan pemimpin-pemimpin yang tidak hanya memenuhi ambisi semata, namun ia harus vioner dalam mendorong masyarakat yang mandiri dan kreatif.
Oleh: Galuh Malpiana
(*Red)